ARTICLE

TOXIC POSITIVITY


toxic-positivity.jpg

Loading

Kita semua tahu dan sadar bahwa semua hal yang positif itu baik dan yang negatif itu buruk, tetapi terkadang kita gagal atau tidak tahu bagaimana menggunakan hal-hal yang positif atau negative dalam kehidupan kita. Dalam kondisi seperti apa sebaiknya hal itu digunakan. Sama halnya manusia dengan segala emosinya yang kompleks terkadang buat kita salah mengartikan berbagai luapan emosi tersebut. Tidak semua hal harus kita tanggapi dengan positif ataupun negative. Semua ada porsi tertentu untuk menempatkan itu semua.

Karena issue kesehatan mental di Indonesia masih dianggap sepele, Masih sedikit orang yang mengkampanyekan mengenai hal ini dan masyarakatpun banyak yang enggan atau masabodo mengenai pembahasan ini karena asing dan merasa tidak penting. Padahal yang dimaksud dengan unsur kesehatan itu bukan hanya dari fisik, tetapi juga mental. Orang yang sehat mental dapat mengendalikan tubuhnya dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Akhirnya kita hidup dengan stereothype bahwa manusia harus selalu berpikir positif apapun yang terjadi, harus selalu bahagia, ceria, kuat, baik, semangat, dan lain sebagainya. Tidak ada yang membolehkan untuk mempunyai emosi yang negatif. Padahal pada kenyataannya setiap manusia berkembang dengan masalah, dan tidak semua orang mampu mengatasi maslah tersebut, baik itu melalui emosi maupun tindakan.

Contoh, jika kita mendapati seseorang yang depresi, maka dengan otomatis seseorang itu akan mendapat kritikan, bullying, dikatakan gila, bahkan sampai dikucilkan. Mengapa demikian? Karena kita menganggap bahwa orang yang depresi adalah orang yang tidak waras yang tidak bisa mengendalikan hidupnya, yang jauh dari ekspektasi sosial. Bahkan jauh dari pada itu jika mendapati seseorang yang bunuh diri karena depresi masyarakat akan menilai yang tidak-tidak, berkomentar mengenai kehidupannya, dikatakan dia tidak beriman. Padahal sebenarnya dengan adanya kasus bunuh diri seharusnya membuat kita “masyarakat” lebih aware dan saling peduli satu sama lain, mencoba memahami seberapa beban berat yang harus dipikul orang tersebut, dan seharusnya kita harus lebih berepati. Namun salahnya, masyarakat kita membiasakan diri untuk terbelenggu dengan toxic positivity.

Yang tidak pernah kita sadari adalah bahwa untuk berpikir positif itu tidak sesederhana pengucapannya. Tidak selamanya kata-kata positif menjadi baik untuk dilakukan. Terkadang kata-kata positif dapat menjadi racun dalam situasi dan kondisi tertentu.

Misalnya ketika kita bercerita masalah kita kepada seorang teman, seringkali dengan mudahnya mereka mengatakan “yang sabar ya, yaudalah gapapa nanti juga lupa, Kamu harus senang, kamu gak boleh sedih, kamu harus semangat, kamu pasti bisa nyelesain permasalahan ini dengan baik, good vibes only, lebih bersyukur deh, Kalau kamu tetap positif kamu akan mengatasi segala kesulitan yang ada”. Kata-kata yang terdengar positif ini justru bisa membuat keadaan jadi semakin buruk. Mengapa demikian? Karena hal tersebut seolah-olah menutupi kenyataan bahwa terkadang hidup memang berat dan menyakitkan serta menyangkal emosi tidak menyenangkan yang sebetulnya perlu diterima, diproses, dimaknakan dan diatasi. Daripada langsung mengatakan kata-kata positif ketika kita menjadi teman curhat, lebih baik dengarkan dan simpulkan secara hati-hati inti pembicaraan yang kita tangkap dari teman. Karena seringkali orang lain hanya butuh didengarkan, bukan dinasehati dengan kata-kata positif yang ia rasa tidak berkaitan dengan permasalahannya.

Mengapa dorongan “be positive” bisa berdampak negatif? Dr. jiemi (psikolog) mengatakan “Tidak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruknya, sering kali, yang di sekeliling mereka mengatakan hal-hal yang seakan-akan positif, padahal bukan itu yang sedang dibutuhkan orang yang bermasalah. Emosi yang ditekan terus bisa jadi penyebab atau pemberat gangguan psikis. Yang paling sering terjadi [gangguan psikisnya] ya gangguan kecemasan dan depresi mayor”. Setiap emosi itu punya pesan, baik itu marah, rasa jijik, sedih, bahagia, atau takut. Jika emosi-emosi itu disangkal atau dipendam demi terus terlihat positif atau bahagia di depan orang-orang, yang ada emosi negatifnya menumpuk, kemudian bisa memicu stres dan sakit psikis serta fisik alias psikosomatis.

Semakin lama, kita akan jengah dengan hal-hal itu. Semua perasaan negatif ternyata tidak selamnaya buruk. Bersikap untuk memaksakan emosi, pura pura happy seakan-akan tidak terjadi sesuatu, yang pada akhirnya berpikir positif terus menerus seperti itu buat kita jadi tertekan, dan yang paling penting adalah bahwa masalah kita tidak selesai. Bahkan semakin parah, karena tiap kali kita dihadapi masalah, semua emosi negatif itu kita kubur dalam-dalam, kerena kita harus postif terus.
Yang harus semua orang pahami adalah bahwa manusia itu perlu merasakan beragam emosi termasuk sakit, marah, dan kecewa. Tidak perlu merasa itu hal yang buruk. Itu normal, karena kita manusia biasa yang akan selalu ada masalah. dan pada kenyatannya toxic positivity yang kita berikan kepada tema kita sebenrnya tidak mebuat masalah dia menjadi beres.

Yang kita harus sadar adalah manusia itu begitu kompleks dengan segala emosinya. . malah dengan kita jujur pada diri sendiri, marah, kecewa, hal itu akan buat kita lebih terbuka dan lebih tau caranya untuk merespon perasaan pada keadaan kita saat itu. Kita jadi lebih tau bantuan apa yang lebih kita butuhkan untuk menolong keadaan kita sendiri.

Tidak mengapa jika kita sedang tidak baik-baik saja, hanya perlu jujur , terbuka pada diri sendiri dan jangan pernah memaksakan kehendak.

Multhifatul Mutmiroh
Follow me
Latest posts by Multhifatul Mutmiroh (see all)

Multhifatul Mutmiroh

I am an ENFJ-T