“WRITING for THERAPHY”
Haloo Teens ! Salam Literasi!
Siapa yang pernah galau?Patah hati?Stres?Emosian? Mimin punya buku bagus judulnya “WRITING for THERAPHY” yang ditulis oleh Naning Pranoto. Pertama kali dicetak Agustus 2015 oleh Pustaka Obor. Yang punya keluhan sakit tapi nggak berdarah, nih yaa simak baik-baik sekilas buku ini.
Sejatinya hidup manusia tidak selalu mulus, masalah yang datang akan menguji kekuatan jiwa. Efek yang ditimbulkan sangat kompleks; stres, psikosomatik, trauma, putus asa, dan merasa hidup tak ada gunanya lagi.
Life Writing, berupa tulisan kisah hidup seseorang berupa diary, biografi, memoar, jurnal, bagi siapa saja untuk menterapi diri yang down supaya bangkit tegak.
Kaum hawa menggunakan kurang lebih 20.000 kata per-hari, sedangkan kaum Adam 7.000 kata saja per-hari. Itu dia kenapa wanita lebih cerewet atau suka menulis diary. Memanfaatkan kata menjadi sebuah tulisan atau ocehan merupakan salah satu cara menyembuhkan jiwa yang runtuh. Jangan hiraukan tanda baca, pemilihan kata, kerapihan, dan sebagainya. Diary sebagai terapi, dikonsumsi sendiri, terserah mau diapakan si pembuatnya.
Mereka yang hidup dari keterpurukan, melambung namanya berkat terapi menulis; Nelson Mandela (tokoh anti apartheid), Maya Angelou (perempuan Afro-Amerika), Bruice Weigl (veteran Perang Vietnam yang traumatis), Kahlil Gibran (pujangga) dan masih banyak lagi. “Menulis adalah komunikasi dengan diri sendiri, diolah dengan rasa dan dikendalikan oleh pikiran. Ini merupakan terapi jitu untuk membebaskan jiwa dari kungkungan kegelapan dan tekanan trauma”, Natalie G.
Gens, kita hanya perlu jujur pada diri sendiri, pena yang mendampingi. Menulis lewat mengetikpun tidak masalah. Tapi gerak motorik menulis langsung dengan pena untuk terapi menulis itu lebih baik. Tulisan benang kusut sekalipun, sangat bermakna untuk menyembuhkan luka jiwa. Selami hatimu sedalam palung, ekspresikan emosimu melalui tulisan. Resapi, maka kamu akan menemukan ketenangan yang tidak bisa diwakili oleh kata.
