Ali & Ratu-Ratu Queens: Home Isn’t a Place It’s a Feeling
Sebuah film keluarga yang layak untuk ditonton. Sudah tayang sejak 17 Juni 2021 di Netflix. Ada banyak pelajaran bisa diambil dari film yang dibintangi @iqbaal.e @nirinazubir_ @asri_welas @happysalma @botikapanggabean @auroraribero @marissaanitaofficial disutradarai @luckykuswandi dengan penulis ternama @ginasnoer
Menarik memang, betul-betul merantau ke New York bersama Ali lewat film ini. Tapi terlalu banyak premis yang ditawarkan Ali & Ratu Ratu Queens membuat kita tidak pernah benar-benar sampai titik sentimental yang diharapkan. Sejak awal kita difokuskan pada karakter Ali (Iqbaal Ramadhan), bahkan sejak membaca judul. Sejak awal hingga akhir film, mau tak mau Ali merepresentasikan perasaan penonton.
Home Isn’t a Place It’s a Feeling
Ini kisah tentang Ali, seorang remaja yang telah ditinggal pergi ibunya, Mia (Marissa Anita) sejak kecil. Ibunya pergi ke New York, AS, mengadu nasib, dan harus pergi dari masa kecil Ali. Dengan uang yang tersisa sejak Ayahnya (Ibnu Jamil) meninggal, dan modal dari menyewakan rumah keluarga, Ali memutuskan untuk pergi sendiri ke New York mencari sang ibu. Ali tak langsung jumpa sang ibu. Bermodal alamat lama, ia akhirnya tiba di bekas apartemen ibunya, dan malah bertemu empat orang wanita dewasa asal Indonesia.
Mereka adalah Ratu-ratu Queens, bagian lainnya dari judul film ini: Party (Nirina Zubir), Biyah (Asri Welas), Ance (Tika Pangabean), dan Chinta (Happy Salma). Tentu saja misi mencari sang ibu tidak terlalu sulit, karena film berlatar era teknologi informasi modern. Tapi, penolakan Mia (ibu Ali) di awal pertemuan lah yang membuka konflik cerita.
Perasaan yang Baru
Waktu berjalan, dan terbentuklah ‘unconditional love’ antara Ali dan keempat tante di apartemen tempat mereka tinggal. Inilah hal justru menjadi daya tarik dalam film ini. Unik rasanya melihat empat orang wanita dewasa berbagi kasih yang wajar dengan seorang remaja yang menggebu-gebu, yang hidupnya didorong kecemasan yang mendasar: orangtua. Penonton dibuat ‘nyaman’ dengan empat karakter tante yang berbeda, karena mereka cukup menjadi diri mereka untuk menunjukkan peduli dan sayang pada Ali.
Party memiliki karakter yang biasa Nirina Zubir mainkan, Ance menjadi persona Tika Panggabean yang sudah kita tahu, dan begitupun dengan Biyah dan Chinta. Hal tersebut menjadi ‘nyaman’ disaksikan, tidak terasa ‘pretentious’ sebagai sebuah sajian fiksi. Kita tahu, jatahnya marah-marah diambil siapa, jatahnya ‘julid’ milik siapa, kita tahu. Kisah kasih yang unik ini membuat beberapa adegan memberi penonton sensasi rasa yang mungkin jarang didapati dari film-film drama yang pernah ada.
New York yang Seperti Apa?
Film ini terasa ingin mendeskripsikan New York, tapi tidak sampai. Jelas sejak awal, bahkan dari judul, bahwa film ini menjual New York: pemandangan, perasaan, keadaan. Untuk proyek produksi film yang betul-betul dilakukan di New York, film Ali & Ratu Ratu Queens terasa tidak seutuhnya memberi nuansa New York, salah satunya warna.
Lebih dari itu, New York di sini tidak begitu terasa sebagai kota yang harus diperjuangkan. Padahal, Ali dan Mia sama-sama digambarkan ‘mengadu nasib’ di New York. Jadi tidak jelas di sini definisi New York. New York yang keras? New York yang ramai? New York yang nyaman? Atau New York yang apa? Naskah seakan malu-malu bicara, tapi gambar tidak melengkapinya. Tidak tuntasnya film ini menggambarkan New York, sejalan dengan tidak tuntasnya premis-premis yang coba ditawarkan. Penonton ditawarkan banyak tanya, tapi dijawab malu-malu.
Serba Tidak Tuntas
Film menawarkan banyak premis pelengkap premis utama. Namun, tak satupun menemukan titik sentimental yang cukup dalam, sehingga hal yang harusnya berkesan jadi tidak. Hubungan Ali dan ibunya tidak tuntas. Memang ada kesimpulan, tapi tidak ada klimaksnya. Begitu pun hubungan Ali dengan para tante, manis memang, tapi tidak cukup beralasan untuk dikenang.
Belum lagi bumbu-bumbu cinta antara Ali dan Eva (Aurora Ribero). Untuk apa mengekspos hubungan cinta jika tidak manis? Mereka seperti berlagak jatuh cinta secara modern, tapi tak terlihat ada rasa. Ali dan Eva tidak seperti dua orang yang saling tertarik, jatuh cinta, atau bahkan sekadar tergila-gila satu sama lain. Conflict of interest Ance di antara Ali dan Eva pun tak tergali, dan jadi cuma sekadar lucu-lucuan.
Banyak hal yang ada tapi tidak tuntas diceritakan, karier Mia, pendidikan Ali, karier Eva yang digambarkan dengan open stage. Mungkin saja itu adalah bahan-bahan menuju film kedua, ketiga, atau serial. Tapi sesungguhnya sebuah film tetap harus bisa berdiri sendiri, dan itulah yang tidak dieksekusi dengan maksimal. Awal dari waralaba? Ada sekuel? Harusnya tidak jadi excuse.
Format banyak premis yang salin berkaitan ini sebetulnya adalah format drama atau serial. Entahlah, bisa saja penulis cerita sebenarnya punya blueprint yang lebih luas, ke arah drama atau serial.
Nilai Baru dalam Keluarga
Ali & Ratu Ratu Queens memberikan penonton nilai-nilai baru dalam keluarga, memberi pesan bahwa hirarki dan tradisi boleh diabaikan asal bertangung jawab. Hal tersebut yang membuat film ini pantas digemari, dan bisa menjadi corong bagi kita yang tak suka dengan hal-hal usang di keluarga. Perginya Ali, perginya Mia, dua hal tersebut diperlihatkan sebagai pembangkangan yang bertanggung jawab, meski ada yang terdampak buruk.
New York adalah mimpi, dan semua orang berhak punya mimpi tersebut, tak ada yang boleh menghalangi kecuali diri sendiri. Untuk mencapai mimpi, ada risiko yang harus dipanggul. Film Indonesia naik level ketika bisa mencerminkan keresahan sosial, dan mengadaptasinya ke dalam naskah. Apalagi, yang diangkat bukanlah hal naif, tapi sesuatu yang sifatnya progresif.
Mia adalah cerminan wanita modern dan bebas berekspresi. Ia kemudian dihadapkan dengan keluarga besar, dan keluarga suami yang konservatif terhadap gender. Ali digambarkan sebagai titik kebijaksanaan di antara dua ‘mazhab’ tersebut. Penting untuk menyaksikan hal tersebut dengan jernih. Sayang, keputusan Ali belum sampai pada jawaban ‘benar atau salahnya’.
Soundtrack dan Jokes Tekstual
Cara ampuh memang menggunakan lagu-lagu Top40 yang pernah populer sebagai soundtrack sebuah film. Tapi juga pembuat film harus merelakan bahwa filmnya tidak akan dikenang utuh. Soundtrack orisinal bisa membuat sebuah film dikenang utuh, beserta karya musik yang menyertainya, lihat saja AADC. Di samping itu, tak selamanya pakai lagu populer itu cocok. Lagu Location Unknown dari Honne di tengah-tengah film ini terasa sebagai jalan pintas yang buntu, sungguh tak perlu.
Satu hal yang disayangkan lagi adalah pemilihan Bayu Skak sebagai amunisi komedi. Jokes tekstual Bayu Skak terasa menjadi ‘asing’, jika disandingkan aktris-aktris yang biasa membawakan jokes yang sifatnya situasi, seperti cara Tika Panggabean dan Asri Welas bawakan. Jokes tekstual yang kerap terlontar dari kelompok youtuber dan standup comedian di sebuah film belakangan hanya sekadar lucu saja, tapi tidak mengkonstruksi situasi yang lucu dalam film.
Penyelamat: Marissa Anita dan Pinot
Mengagumkan memang akting Marissa Anita di film ini, elok nian mewatakkan sosok baik tapi jahat, jahat tapi baik. Rautnya selalu ada di garis batas, menyimpan asa kebaikan sambil menutupi kesalahan. Tapi ini seperti mengulang rasa kala melihat Marissa bermain di film lainnya dari sutradara Lucky Kuswandi, Selamat Pagi Malam. Keindahan akting Marissa tidak terbalut kisah yang solid.
Penyelamat lainnya film ini adalah produk grafis dari visual artist, Pinot. Sentuhan seni yang ia bubuhi menyelamatkan atmosfer dan rangkaian gambar film yang tak cukup rapi. Terbebas dari sejumlah ‘noda’ di film ini, Ali & Ratu Ratu Queens adalah satu dari sekian bukti dari perfilman Indonesia yang punya asa ingin naik kelas. Lucky Kuswandi (sutradara), Gina S. Noer (Penulis), dan Muhammad Zaidy (penulis) adalah orang-orang yang turut membuat penonton film Indonesia harusnya percaya, bahwa masa depan film kita ada.
Sumber: cnnindonesia.com