Biar Ga ada TOXIC PARENTING antara Aku sama Orangtua
Teens, apa yang kita bayangkan dengan kata toxic. Duh itu mah racun banget. Sering kita pakai kata itu disatu hubungan yang ga baik dan punya pengaruh negatif banget bagi diri. Kita mungkin lebih kenal dengan istilah “toxic relationship”, bisa sama temen atau sama someone special. Kalau sama orangtua? pernah ga punya hubungan ga baik, komunikasi ga lancar, bawaannya emosi aja, debat terussss. Ada apa ini? inilah yang dinamakan “toxic parenting”. Eitsss gimana-gimana nih maksudnya?
Makanya BKKBN Jabar ngadain webinar tentang Toxic Parenting ini biar remaja dan orangtua yang punya remaja lebih memahami gimana pola asuh yang tepat, komunikasi yang efektif, dan remaja yang tentu akan jadi orangtua bisa merencanakan dirinya mau jadi orangtua seperti apa.
“Kami hanya berusaha untuk membentuk kamu menjadi orang yang sukses” itu jadi kalimat sakti yang sering kita dengar dari orang tua ya teens? Disadari atau pun enggak, terkadang alasan itu lah yang menjadikan orang tua memberikan banyak tuntutan kepada anaknya. Padahal di dalam beberapa bagian kehidupan kita sebagai remaja, orang tua perlu memberikan sedikit keleluasaan, sedikit ruang dan kebebasan pada anak untuk mengekspresikan diri agar anak mampu belajar mengambil keputusan dalam hidupnya.
Kalau ada orang tua yang selalu memberikan paksaan dan tuntutan berlebihan pada anaknya, hal tersebut sudah bisa dikatakan sebagai racun atau tindakan toxic yang akan merusak hubungan antara orang tua dan anak. Padahal sebenarnya tugas orang tua adalah membimbing dan mengantarkan anak menuju masa depan, bukan untuk mengendalikannya.
Menurut Bunda GenRe Jawa Barat dalam kegiatan webinar “Tocix Parenting” yang diselenggarakan oleh BKKBN Jabar, “Banyak orang tua tidak sadar telah mempraktikkan toxic parenting dalam mendidik anaknya. Praktik ini kontraproduktif dengan tujuan awal melakukan pendidikan atau pengasuhan anak.” Bunda Atalia mengidentifikasi setidaknya terdapat delapan jenis toxic parenting yang kerap dilakukan orang tua.
- Pertama, egois dan kurang empati pada anak. Dalam hal ini, orang tua toxic selalu mengutamakan kebutuhan mereka sendiri dan tidak mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan anak. Mereka tidak berpikir tentang bagaimana perilakunya berdampak pada anak.
- Kedua, reaktif secara emosional. Orang tua toxic bereaksi berlebihan atau mendramatisasi situasi.
- Ketiga, mengontrol secara berlebihan. Di sini, orang tua melakukan kontrol ketat, sehingga anak harus melakukan apa yang dikehendaki orangtua tanpa melakukan kompromi.
- Keempat, pola asuh permisif. Orang tua memberikan kebebasan kepada sang anak untuk melakukan setiap yang dikehendakinya.
- Kelima, orang tua kurang menghargai. Apapun usaha dan hasil yang dilakukan anak, selalu dirasakan kurang. Orang tua toxic sangat jarang memberikan apresiasi pada anak.
- Keenam, menyalahkan dan kritik berlebihan pada anak. Bagi orang tua toxic ini, tak ada sisi baiknya pada seorang anak. Dia akan mencari “orang lain” untuk kegagalan atau kesalahan dalam dinamika keluarga.
- Ketujuh, menuntut berlebihan. Orang tua seringkali tidak peduli pada kesanggupan dan kemampuan anak untuk mengerjakan suatu hal. Akibatnya, anak akan merasa tertekan dan kehilangan rasa percaya diri.
- Kedelapan, mengungkit apa yang telah dilakukan untuk anak.
Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua agar terhindar dari perilaku toxic? Berkebalikan dari delapan toxic tadi, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa Barat ini berpesan agar setiap orang mampu menjadi pihak yang mampu meningkatkan kepercayaan sang anak. Sikap ini dibarengi dengan empati tinggi dan berkesinambungan.
“Kita orang tua harus ingat bahwa tidak ada anak yang menguasai semuanya. Sebagian anak menyukai dan pintar matematika tapi lemah untuk seni. Ada juga yang pintar dalam bahasa tapi rendah dalam olah raga. Apapun potensi anak, kita harus memberikan apresiasi. Tidak harus dipaksakan untuk menguasai semuanya,” ujar bunda Atalia.
Yang tidak kalah penting adalah menjaga konsistensi. Penerapan disiplin harus konsisten untuk semua. Ini yang kemudian menjadikan seorang anak bertanggung jawab. Sebaliknya, jika perilaku orang tua menunjukkan inkonsistensi, maka seorang anak bisa dengan mudah membalikkan perkataan orang tua. Dalam hal ini, para orang tua dituntut menjadi teladan bagi anaknya.
Beliau juga mengingatkan agar para orang tua meluang waktunya untuk sang anak. Waktu yang berkualitas tentunya. Berbiacaralah dari hati ke hati. Baginya, percuma saja orang tua berlama-lama dengan anaknya jika masing-masing sibuk dengan gadget masing-masing. Lebih baik sedikit, tapi berkualitas. Tunjukan bahwa cinta itu tanpa syarat. Tidak semua perlu dibuat semacam reward and punishment.
Membangun Ketahanan Keluarga
Pesan senada yang dapat diambil dari webinar kemarin juga datang dari beberapa tokoh lain. Salah satunya adalah Dokter Yani yang menegaskan bahwa persoalan paling penting dalam keluarga adalah komunikasi. Penting bagi orang tua untuk belajar kembali tentang komunikasi gaya baru yang lebih sesuai dengan perkembangan kekinian.
Beliau menjelaskan bahwa BKKBN terus mengembangkan cara-cara berkomunikasi efektif dalam keluarga. Salah satunya berupa modul 1001 Cara Berdialog dengan Anak. Modul ini diajarkan kepada para orang tua melalui kelompok kegiatan bina keluarga remaja (BKR).
“Komunikasi harus terjadi dua arah. Harus terjadi antara ibu dengan anak maupun ayah dengan anak. Tidak hanya ayah atau ibu. Ayah harus mampu membangun komunikasi dengan anak. Tugas ini harus dipikul bersama. Kita tahu ada sosok ayah yang tidak tergantikan. Ayah menjadi panutan di tengah keluarga,” ujarnya.
Dr. Yani pun memberi penjelasan mengenai BKKBN yang mendapat amanat Undang-undang (UU)Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga untuk meningkatkan ketahanan keluarga. Upaya ini ditempuh dengan melakukan pendekatan berdasarkan siklus kehidupan dengan instrumen penerapan delapan fungsi keluarga secara utuh dan berkelanjutan.
Menurutnya, ketahanan akan didapat jika keluarga Indonesia menjalankan delapan fungsi keluarga. Artinya, jika ada keluarga tidak menjalankan delapan fungsi keluarga, otomatis ketahanan tidak bisa didapat. Atau, ketika salah satu atau beberapa fungsi tidak berjalan, maka ketahanan yang didapat tidak utuh. Oleh sebab itu setiap anggota keluarga perlu bekerjasama untuk melakukan pembangunan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Orang tua pun perlu mengambil peran ekstra untuk membantu anak agar dapat terbentuk karakter yang kuat tanpa memberikan tuntutan atau paksaan yang dapat berujung pada perilaku “toxic parenting”. (Nov)