ARTICLE

Quarter Life Crisis


inbound-1863954384.jpg

Loading

Tau kah kalian apa itu “Quarter Life Crisis ?”
In popular psychology, a quarter-life crisis is a crisis “involving anxiety over the direction and quality of one’s life” which is most commonly experienced in a period ranging from a person’s twenties up to their mid-thirties. Atau dalam psikologi populer, krisis seperempat-hidup adalah krisis “yang melibatkan kecemasan terhadap arah dan kualitas hidup seseorang” yang paling sering dialami dalam jangka waktu mulai dari usia dua puluhan hingga pertengahan tiga puluhan. Namun menurut sebuah penelitian yang telah teruji, kasus Quarter Life Crisis ini bisa menimpa seseorang yang belum mencapai usia dua puluh, bahkan di kalangan remaja sekalipun Quarter Life Crisis bisa saja terjadi.

Intinya adalah: Quarter Life Crisis merupakan suatu kondisi dimana kita merasa resah, cemas, bimbang akan kehidupan yang sedang kita jalani saat ini, kita mulai merasa “Ko hidup ku gini-gini aja” “ko temen-temen ku hidup nya udah enak” “ko mereka bisa begini, bisa begitu dan sebagainya” , kita mulai merasa insecure (minder/kurang percaya diri),cenderung lebih banyak menyendiri, menarik diri dari kehidupan sosial, bahkan yang lebih parah nya lagi bisa berakibat stress bahkan “self-injury” (melukai diri sendiri)

Ditengah kondisi Covid 19 ini, Quarter Life Crisis bisa saja menghampiri kita atau bahkan kita sedang merasakannya, namun kita tidak tahu bahwa apa yang kita rasakan ini adalah bagian dari Quarter Life Crisis? Ya, disaat hampir semua aktifitas yang biasa kita lakukan diluar kini harus dirumah saja tentu banyak perubahan yang mau tidak mau, nyaman tidak nyaman, harus tetap dilakukan demi mengurangi angka penularan juga terhindar dari virus yang meresahkan ini.

Melakukan aktifitas dirumah saja tentu membuat banyak waktu luang yang baru tercipta, nah disaat-saat waktu luang inilah pikiran-pikiran yang menjurus pada membandingkan hidup orang lain dengan diri sendiri, merasa kurang percaya diri dan juga ragu-ragu mulai dirasakan. Terlebih lagi ketika kita melihat teman-teman kita di social media terlihat lebih productive dibanding kita, teman kita terlihat sudah berhasil mencapai mimpinya yang membuat kita semakin tersungkur dalam pemikiran-pemikiran yang “ko orang lain bisa productive ya” “liat dia udah bisa membiayai dirinya sedangkan aku masih aja jadi beban orangtua” “wah dia udah sidang skripsi ku ko gini gini aja, apa aku salah ambil jurusan?” “jangan jangan selama ini aku kuliah hanya buang buang waktu” dan perumpaan lain yang menggambarkan kerendahan diri ( minder) yang lainnya.

Sebenarnya pemikiran-pemikiran seperti itu bisa menjadi sebuah pecutan semangat untuk terus berbenah dan tetap semangat dalam menjalani kehidupan ini. Namun, pemikiran-pemikiran itu juga bisa membunuh secara perlahan jika kita tidak dapat mengendalikan apa yang kita khawatirkan, kita terus berlarut larut dalam rasa resah, cemas, bimbang tanpa diimbangi dengan langkah realisasi untuk membantah apa yang kita khawatirkan selama ini.

Kita ambil contoh, saat kita merasa resah karena teman-teman sekitar kita terlihat lebih productive dengan berbagai kegiatannya, lantas apakah kita akan terus merasa resah ketika melihat itu? Tentu saja berlarut-larut dalam keadaan tersebut tidak akan merubah apapun. Yang bisa kita lakukan adalah sadar sejak dini bahwa setiap orang memiliki kegiatannya masing-masing dan kitapun sama productivenya dengan mereka, apabila kita merasa masih kurang productive kita bisa menambah kegiatan yang biasanya tidak kita lakukan, misalnya berolahraga, mengambil kursus online atau apapun. Lagi-lagi perlu diingat, saat kita terus berlarut larut dalam keadaan resah tanpa ada langkah realisasi untuk berbenah hal itu bisa membunuh kita secara perlahan.

Perasaan resah, cemas, bimbang yang terus kita pelihara akan membawa kita pada ganguan jiwa level berikutnya yaitu stress. Stress bisa sangat berpengaruh pada aspek kehidupan kita, pola tidur kita yang bisa berantakan, kehilangan nafsu makan yang berdampak pada kehilangan berat badan yang drastis, sulitnya berkonsentrasi, sulit bersosialisasi dan bahkan sampai menyakiti diri kita sendiri. Sungguh hal yang merugikan bukan?

Lantas bagaimana dengan orang orang yang sedang terperangkap dalam Quarter Life Crisis ini? Apakah aku pernah merasakannya? Ya tentu saja, aku pernah melalui nya dan sungguh efek yang ditimbulkan dari Quarter Life Crisis ini sangat tidak mengenakan. Aku menjadi sering murung, menarik diri dari pergaulan, sulit tidur, stress bahkan sampai melakukan self-injury.
Ternyata efek Quarter Life Crisis memang begitu kejam bagiku. Tapi tenanglah hari ini aku sudah tidak merasakan itu semua, hari ini dan seterus nya aku akan memastikan bahwa aku sudah baik – baik saja, lantas bagaimana caraku keluar dari Quarter Life Crisis?

Berpikir Positive
Ternyata berprasangka buruk (baik kepada diri sendiri atau pun orang lain) itu sangat berbahaya pada mental dan pikiran kita loh, so mulai sekarang berhenti untuk negative thinking ya!

Sadari bahwa tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan keinginan.
Nah yang kedua enggak kalah penting, terkadang kita terlalu banyak merencanakan sesuatu namun kita lupa bahwa tidak semua yang kita rencanakan dapat terwujud, jika kita tidak menyadari hal ini, kita bisa stress sendiri dan ingat itu berbahaya.

Mulai menghargai diri sendiri
Ketika kita berada dalam keadaan down, stress, merasa terlalu banyak hal buruk terjadi, cobalah menghadap cermin dan katakan pada diri sendiri “Terimakasih, kamu sudah mencoba jadi yang terbaik” di sadari atau tidak hal tersebut justru membuat kita merasa jauh lebih baik lagi.

Jangan ragu untuk mencari teman berbagi
Bagi kita yang selalu memendam semua masalah seorang diri, cobalah untuk mencari teman untuk berbagi, jangan ragu untuk berbagi cerita, saling menguatkan, TAPI jangan salah cari teman berbagi.

Alihkan pikiran negative dengan kegiatan positive
Yang terakhir yang gak kalah penting nya, dirumah saja membuat kita memiliki banyak waktu luang, jika kita tidak bisa memanfaatkan waktu luang ini dengan baik pikiran pikiran negative bisa saja menghampiri dan tentu akan mengganggu kita. Maka ketika pikiran negative yang dirasa dapat mengganggu kita mulailah kita alihkan dengan mencari kegiatan positive.
Jadi, Quarter Life Crisis ini bisa berakibat positive ataupun negative bagi hidup kita. Ini tergantung bagaimana kita menyikapinya, apakah bisa menjadi pecutan semangat untuk meningkatkan kualitas hidup kita ataukah menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak meluluh lantahkan kehidupan kita. Ya, hanya diri kita sendirilah yang bisa menentukannya.

Terima kasih telah membaca tulisan dari aku seorang mahasiswi semester lima yang sedang berlatih untuk menulis ini. Stay safe di rumah aja XoXo!

Resha Rizkita Andriyani
Latest posts by Resha Rizkita Andriyani (see all)

Resha Rizkita Andriyani

Mahasiswa semester 5 yang sedang mencoba untuk memulai menulis.