Sebuah Seni untuk Berkawan dengan Perbedaan
Kita yang lahir dan besar di kelompok masyarakat homogen mungkin akan memerlukan beberapa penyesuaian untuk mulai berkawan dengan orang lain dengan identitas keagaamaan, ras maupun kesukuan yang berbeda. Tidak asing kita temui kalimat-kalimat serupa “takut mau bareng, dia kan anak timur” atau ketakutan-ketakutan serupa dalam menghadapi perbedaan identitas yang sebenarnya sangat wajar terjadi di Indonesia sebagai negara multikultur yang terdiri dari berbagai golongan masyarakat.
Kendati narasi-narasi mengenai keberagaman sudah sangat banyak diproduksi, tetapi tidak dapat dinafikan juga bahwa kebanyakan dari kita masih menganggap bahwa hidup dengan lingkungan sang seragam lebih menyenangkan dan minim tantangan. Padahal sesungguhnya hidup berdampingan dengan berbagai identitas yang berbeda adalah suatu pengalaman yang menyenangkan. Misalnya nih, pada hari jumat siang ban motor kita tiba-tiba bocor di tengah jalan dan butuh untuk segera di tambal sementara rata-rata tukang tambal berjenis kelamin laki-laki. Nah kalau semua tukang tambal ban kebetulan adalah laki-laki muslim yang wajib shalat jumat, betapa repotnya kita. Coba kalau ada beberapa tukang tambal ban yang tidak berkewajiban menunaikan ibadah shalat jumat, kita juga akan terbantu.
Keragaman-keragaman yang membuat kita berbeda-beda bukanlah hal yang harus ditakuti, justru jika kita bisa memahami tujuan Tuhan menciptakan makhluk yang bermacam-macam ini ialah untuk saling mengenal dan melengkapi satu sama lain. Nggak seru kan kalau seluruh dunia ini wajah dan namanya sama semua?
- Body Shaming terhadap Atlit Berprestasi, Bukti Perempuan Masih Dinilai dari Bentuk Badannya - 11/08/2021
- REVIEW BUKU “TALI JIWO” - 29/08/2019
- Sebuah Seni untuk Berkawan dengan Perbedaan - 28/08/2019