TIRTO BAPAK PERS NASIONAL
Hari pers nasional selalu diperingati setiap 9 februari. Hal tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1985 yang menyatakan “bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.” Karena kehadiran pers di Indonesia, masyarakat dapat menjadi pengawas pemerintah dalam menajalankan amanahnya serta dapat mengetahui perkembangan berita dari berbagai belahan dunia. Namun, siapa sangka bahwa bapak pers Indonesia belum terlalu dikenal banyak oleh masyarakat luas? Ia adalah Raden Mas Tirto Adisuryo pria kelahiran Blora tahun 1880 anak dari Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro.
Karir Tirto di bidang jurnalistik atau pers dimulai dengan memimpin surat kabarnya sendiri, yang bernama Soenda Berita pada tahun 1901. Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh pribumi. Selepas Soenda Berita, Tirto kemudian mendirikan media mingguan yang diberi nama Medan Priyayi pada tahun 1909, namun sayangnya mingguan ini berhenti terbit pada tahun 1912. Di tahun yang sama dengan kemunculan mingguan Medan Priyayi, Tirtoadisuryo juga mendirikan perusahaan penerbitan pertama di Indonesia, N.V Javaansche Boekhandelen Drukkerij “Medan Priyayi” pada tahun 1909 bersama Haji Mohammad Arsjad dan Pangeran Oesman.
Perjalanan Tirto dalam karir jurnalistiknya dikenal menjadi jurnalis yang memiliki “pena tajam”. Tirto pernah mendapat hukuman diasingkan selama dua bulan yaitu pada 18 Maret-19 Mei 1910 ke Telukbetung, Lampung. Di mana saat itu, Tirto memuat artikel berisi dugaan persekongkolan antara Calon Pengawas Purworejo A Simon dengan Wedana Tjokrosentono terkait pengangkatan Lurah Desa Bapangan, Distrik Cangkrep, Purworejo. Dalam tulisannya Melalui Medan Prijaji edisi 1909, Tirto membongkar skandal yang melibatkan seorang pejabat daerah di Purworejo bernama A. Simon. Tirto mengungkap persekongkolan jahat terkait pemilihan lurah di daerah itu yang diduga kuat diotaki Simon.
Meskipun sempat beberapa kali mendapat hukuman seperti pengasingan, Tirto tidak pernah kapok dalam menulis berita yang berkaitan dengan pejabat atau orang yang menindas kaum bawah. Tirto memiliki kuasa atas media yang ia miliki, sehingga Tirto dapat terus melontarkan kritik lewat tulisan setiap kali menemui atau memperoleh laporan tentang kesewenang-wenangan pejabat. Dalam tulisannya, Tirto menerapkan tulisan yang bergenre atau beristilah jurnalisme advokasi yang mana jika diterapkan pada saat ini adalah penulisan berita yang membela kaum tertindas melalui jurnalistik. Bahkan, tidak jarang ia turun langsung ke lapangan jika dibutuhkan. Hingga akhirnya, Tirto harus kembali terjerat dengan jejaring hukum kolonial pada 1912 yang mengantarkannya ke tanah pengasingan untuk keduakalinya di mana Tirto dibuang ke tempat yang lebih jauh yakni Maluku dan kembali ke Jakarta atau Batavia pada tahun 1914.
Sebelum berangkat untuk diasingkan ke Maluku, usaha Tirto nyaris bangkrut. Di mana seluruh aset dan hartanya terancam disita negara karena terlilit hutangyang menumpuk. Namun, sebelum hal tersebut terjadi, Goenawan berusaha “menyelamatkan” aset Tirto yang selama ini menjadi mentornya itu dengan cara membeli aset-aset tersebut, termasuk Hotel Medan Prijaji. Sepulangnya dari pengasingan, Tirto pun berusaha bangkit untuk mengembalikan kejayaannya yang pernah ia raih di masa lalu. Akhirnya Tirto tak sanggup bertahan lagi, tak hanya harta bendanya yang habis namun Tirto juga kehilangan relasi serta teman-temannya karena selalu diawasi oleh mata-mat kolonial. Hingga akhirnya Tirto wafat pada meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Menurut Tirto, tugas pers adalah memajukan dan memahami hak-hak serta martabat rakyat. Selama karir jurnalistiknya, Tirto terus aktif dalam mengelola media massa, mulai dari sebagai penulis hingga memimpin media tersebut. Tirto melihat tugasnya sebagai sarana untuk menyadarkan masyarakat dalam menjawab persoalan yang timbul.
Tirto adalah seorang yang telah memberi inspirasi bagi masyarakat. Tirto tidak hanya sebagai jurnalis namun juga sebagai penulis berita, perumus gagasan dan pengarang karya-karya non-fiksi. Atas hasil karya dan perjuangan Tirto dalam dunia jurnalistik Indonesia, Tirto pun kemudian ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers RI pada tahun 1973. Nama Tirto, sosok jurnalis pemberani tidak hanya diabadikan menjadi Bapak Pers Indonesia, namun juga termuat dalam novel karya Pramoedya Anata Toer yakni Sang Pemula yang tebalnya 422 halaman serta menjadi salah satu nama media online di Indonesia yakni Tirto.id.